Featured Posts
Kamis, 30 Oktober 2014
Minggu, 17 Agustus 2014
Kamis, 10 Oktober 2013
PERMEN NO 7 TAHUN 2012
PERMEN NO 7 TAHUN 2012
JAKARTA--Terbitnya Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 7 Tahun 2012 yang memberlakukan larangan ekspor bahan tambang mentah mulai Mei 2012, mengancam aktifitas perusahaan pertambangan mineral skala kecil dan menengah di seluruh Indonesia. Pasalnya, seluruh perusahaan pertambangan yang ada masih mengandalkan ekspor bahan mentah dan mereka mengaku belum siap jika harus melakukan pengolahan dan pemurnian.
Dalam sebuah acara diskusi tentang Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2012, siang tadi, (Kamis 23/02), bantak pelaku usaha sektor pertambangan yang mengaku kaget dan belum siap dengan Permen tersebut. Salah seorang peserta diskusi, Agus Suharsono dari PT. Abris Nikel menyampaikan terbitnya Permen tersebut tidak disertai sosilisasi dari pemerintah sehingga Permen tersebut dinilai akan membuat kolap seluruh perusahaan pertambangan mineral khususnya nikel yang ada masih mengandalkan ekspor bahan mentah.
“Terbitnya Permen itu tidak disertai pemberitahuan dan sosialisasi dari pemerintah, kami mendukung semua upaya pemerintah namun kami juga perlu waktu,”katanya.
Semula dia beserta peserta diskusi lainnya hanya berpegangan pada Undang-Undang Minerba, yang dalam Undang-Undang tersebut dikatakan batas akhir eksport bahan mentah tambang tidak boleh lagi dilakukan pada tahun 2014.
“ Kalau kami tidak boleh melakukan eksport bahan mentah tahun ini mau dikemanakan pekerja kami yang jumlahnya sekitar seribu orang?, belum lagi efek dominonya pada masyarakat sekitar yang membuka usaha kecil disekitar tambang,”tanya nya.
Sementara Suharmanto dari PT. Bintang Delapan menilai dengan terbitnya, Permen ini, pemerintah seolah tidak mau tau dengan kondisi yang dialami oleh perusahaan tambang dan Permen ini hanya menguntungkan perusahaan mineral yang sudah siap melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
“ Kami seolah disuruh mencari jalan keluarnya sendiri, sedangkan membuat smelter itu butuh waktu 2 samapi 3 tahun dengan biaya investasi yang tinggi, itupun dengan catatan powerplantnya sudah ada. Dari sini jelas hanya perusahaan besar yang sudah siap dengan smelter yang diuntungkan,”ungkapnya.
Peserta diskusi dari PERHAPI, Andrie mengatakan, bahwa Permen yang dikeluarkan oleh Pemerintah sudah sesuai dengan amanat Undang-Undang Minerba pasal 5 soal pengendalian eksport yang bunyinya “Pemerintah berhak untuk mengatur kekayaan negara”.
Pada kesempatan yang sama mantan Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral dan Batubara serta Direktur Teknik dan Lingkungan Ditjen Minerba, MS Marpaung yang menjadi moderator acara diskusi tersebut, mengatakan, alangkah bijaknya jika pemerintah memberikan waktu lebih pada perusahaan tambang agar kesannya seperti mengusir.
“ Anak kost aja akan diberitahu indung semanya jika kamarnya tidak lagi di sewakan, mereka yang memiliki IUP dengan luas konsesi 2000 hektar kebawah akan banyak yang dirugikan dan belum siap, karena banyak dari mereka yang baru membangun kontruksi, mulai menadatangani kontrak, mereka pasti menuntut persamaan perlakuan dengan perusahaan pemegang KK,” ujarnya.
Dalam kesimpulan diskusi tersebut para peserta sepakat akan melakukan dialog dengan Pemerintah melalui Ditjen Minerba untuk mencari jalan tebaik dari masalah yang mereka hadapi.
PT FI Langgar UU No 13/2003 Karena Telah Mempekerjakan Kontraktor
PT FI Langgar UU No 13/2003 Karena Telah Mempekerjakan Kontraktor
- Senin, 19 September 2011
- Ditulis Oleh Sunandar PS - PME Indonesia
JAKARTA - Serikat Pekerja Freeport Indonesia menyatakan bahwa Manajemen PT Freeport Indonesia telah melanggar Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, khususnya dalam pasal 137-145 tentang mogok kerja, karena telah mempekerjakan karyawan kontraktor dan membantah bahwa pekerja yang tergabung di SP FI kembali bekerja.
Hal ini dikatakan Ketua Bidang Organisasi Serikat Pekerja Freeport Indonesia, Virgo Solossa saat dihubungi PME-Indonesia, Jakarta, Senin (19/9).
"Sampai saat ini, pekerja yang tergabung di SP FI masih menggelar aksi mogok hingga tuntutan kenaikan upah kami dipenuhi oleh Manajemen PT FI. Jadi, kalau pihak Manajemen menyatakan bahwa SP FI sudah kembali bekerja itu tidak benar," tegas Virgo.
Ia menjelaskan, sekitar 1500 pekerja yang dinyatakan telah bekerja kembali oleh pihak manajemen PT FI itu diambil dari kontraktor yakni Trakindo, Repbath dll.
Untuk itu, lanjut Virgo, Manajemen PT Freeport Indonesia yang menyatakan sekitar 1.500 dari sekitar 8.000 karyawan yang melakukan aksi mogok kerja sudah kembali menjalankan aktivitas produksi itu tidak benar.
"Selama pekerja masih melakukan aksi mogok untuk menyampaikan aspirasinya tentunya pihak manajemen PT FI tidak diperbolehkan menggantikan pekerjanya dengan pekerja kontraktor lainnya sebagaimana termaktub dalam pasal 137-145 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dan pihak manajemen PT FI harus menyelesaikan permasalahan pekerjanya, tidak lantas menggantikan pekerja," jelasnya.
Perlu diketahui, pekerja Freeport kembali melakukan mogok kerja mulai hari ini, Kamis (15/9). Aksi mogok kerja dilakukan karena belum adanya kesepakatan antara pekerja dengan manajemen PT Freeport Indonesia terkait tuntutan upah (fixcost) dari USD 1,5 - USD 3 ke USD 17 - USD 43.
Selain itu, imbuh Virgo, ada perbedaan cara perhitungan dimana SP FI menghitung kenaikan upah berdasarkan keuntungan perusahaan sedangkan manajemen berdasarkan kenaikan harga barang tambang di dalam negeri.
"Jadi kami masih membuka peluang untuk melakukan perundingan dengan pihak manajemen PT FI agar hak-hak kami dipenuhi. Aksi mogok ini akan kami gelar terus hingga tuntutan kami dipenuhi," pung
Langganan:
Postingan (Atom)